WAKATOBI, SIBERTIMUR.COM- Kabupaten Wakatobi baru saja merayakan hari ulang tahunnya yang ke 20 pada tanggal 18 Desember 2023 lalu sebagai suatu daerah otonomi.
Namun sayangnya diusianya yang sudah dewasa ini, masih banyak persoalan sosial, pendidikan hingga pembangunan daerah yang luput dari perhatian Pemerintah daerah (Pemda) Wakatobi.
Masih kita jumpai adanya kesenjangan sosial yang terjadi di kabupaten Wakatobi, terutama di pemukiman suku Bajo yang mendiami pesisir pantai dan laut. Diantaranya di Desa Mantigola dan Sama Bahari kecamatan Kaledupa.
Akses jalan timbunan yang dibangun oleh Pemerintahan Bupati Arhawi dulu, yang menghubungkan desa Mantigola dan daratan kini telah rusak tanpa ada perhatian dari pemerintahan sekarang (Bupati Haliana). Bahkan akses jalan (jembatan) desa yang dibangun menggunakan kayu, kini telah rusak hingga ada yang telah terputus, namun tidak ada perhatian dari Pemerintah.
Masyarakat setempat terpaksa secara swadaya menambal dan memperbaiki sejumlah kayu yang telah lapuk karena telah banyak korban yang jatuh ke laut.
Dalam perkampungan suku Bajo tersebut, masyarakat setempat harus membuat jembatan dari beberapa lembar papan atau kayu sebagai akses yang menghubungkan mereka dengan tetangganya yang lain. Bahkan mereka yang tidak mampu membeli kayu untuk membuat jembatan sebagai akses mereka untuk bersosialisasi dengan tetangganya terpaksa harus mendayung menggunakan perahu.
Warga desa Mantigola, Kanjima mengatakan aktivitas masyarakat setempat sangatlah terganggu dengan rusaknya jalan yang menghubungkan desa mereka dengan daratan. Selain itu, putusnya jalan (jembatan) di desa ini mempersulit mereka untuk mengunjungi tetangga maupun kerabat mereka yang berada di dusun tetangga.
Ia mengaku, rusaknya jalan ini sudah sekitar satu tahun lebih, namun belum ada perhatian dari pemerintah.
“Sudah banyak orang yang jatuh ke laut, bukan saja kami, tapi orang darat juga,” ungkap Kanjima saat di wawancarai, Minggu (7/1/2024)
Kanjima juga mengeluhkan tidak adanya pasar yang layak untuk memasarkan hasil laut mereka.
Selain itu, masyarakat suku Bajo ini mengeluhkan sulitnya memperoleh air bersih, apa lagi saat musim kemarau.
“Kalau air tidak jalan, maka kami harus pergi beli lagi air di darat, satu jerigen 20 liter harganya Rp 2.500,” paparnya
Hal yang sama juga dirasakan oleh masyarakat di desa Sama Bahari. Bukan saja akses didalam desa yang terputus-putus karena jembatan yang rusak, bahkan tidak ada akses jalan maupun jembatan untuk ke darat, warga setempat hanya mengandalkan perahu.